Langsung ke konten utama

Budaya Membaca : Indonesia, Recent Condition

“Membaca adalah jendela dunia ”mungkin selain sudah hapal kita juga sudah bosan mendengar slogan yang klise itu. Tapi pernahkah kita benar-benar berpikir soal membaca itu sendiri? Kenapa kita harus membaca? Dimana posisinya dalam kegiatan kita sehari-hari?

Membaca dibeberapa Negara telah menjelma menjadi budaya, menjadi fashionable society activity. Cina sebagai contoh, melalui hasil penelitian dari Chinesse Academy of Press and Publication dalam suatu survei membaca yang dipublikasikan 21 April 2014 dengan melibatkan 40.000 orang di 74 kota berbeda ini menemukan bahwa chinese reader mengalami peningkatan jumlah bacaan sebanyak 600 juta buku dari tahun 2012 dengan rata-rata setiap orang membaca 6.74 buah buku pertahunnya dalam lintas tahun 2012.

Budaya bangsa yang besar dibangun melalui budaya literasi, Amerika Serikat contohnya. Rata-rata orang amerika dewasa membaca 11-20 buku per tahun, dengan bacaan wajib bagi siswa SMA nya kira-kira sebanyak 32 buah buku. Lalu bagaimana dengan Indonesia? UNESCO pada 2012 mencatat indeks minat baca di Indonesia adalah 0,001 yang berarti hanya satu orang diantara seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2006 juga menujukkan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber mendapatkan informasi, sebagian dari kita masih lebih memilih menonton televisi maupun mendengarkan radio ketimbang membaca.

Penulis sebagai salah satu yang berdomisili sementara di Yogyakarta, kota pelajarnya Indonesia pun selama tiga tahun terakhir ini telah menyaksikan sendiri rendahnya minat membaca ini. Dikala senggang, banyak dari kita yang memilih asyik dengan gadget dibandingkan membaca, padahal sebagian besar dari kita adalah pelajar. Belum yakin? mari lakukan survei singkat ini. Berapa buku yang kamu baca dalam setahun terakhir? (well, buku pelajaran dihitung hanya bila kamu menghabiskannya and sorry to say tapi slide lecture, catatan kuliah dan yang sejenis tidak terkategori sebagai buku bacaan) Kapan terakhir kamu membaca buku? Apakah dalam setahun terakhir kamu sudah menghabiskan setidaknya tiga buah buku?

Banyak yang mengatakan bahwa historically nenek moyang kita memang memiliki tradisi bercerita dan bukannya membaca sehingga membaca masih begitu asing untuk dikatakan sebagai budaya. Tapi apakah benar orang Indonesia sama sekali tidak memiliki budaya membaca? Sebenarnya tidak juga, karena meskipun dalam lingkup terbatas, kalangan intelektual Indonesia dijaman dahulu sangatlah gemar membaca. Sebut saja Bung Hatta yang bahkan ketika diasingkan ke Digul pun masih menyempatkan membawa buku-bukunya. Sistem pendidikan dijaman penjajahan waktu itu mewajibkan siswanya untuk setidaknya 25 buah buku dalam tiga tahun.

Apa yang terjadi sekarang? Tingkat membaca dikalangan anak muda yang begitu rendah walaupun dikota-kota dengan akses mudah terhadap bahan bacaan. Tidak dapat dihindari juga hal imi dipengaruhi kebijakan pemerintah mengenai kewajiban membaca buku di sekolah-sekolah. Indonesia hari ini, melalui kebijakannya tidak mewajibkan satupun buku untuk dibaca. Budaya literasi-diskusi-menulis masih minim padahal dengan membaca adalah pondasi bagi banyak hal : dengan membaca kita dapat menulis lebih baik, dapat bercerita lebih banyak, mengambil berbagai keputusan, menemukan banyak ide atau singkatnya merasakan lebih banyak hal dalam hidup.

Source :


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak ban...

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1...

Setelah koas - Sepenggal 15210

Tuhan selalu memberikan jawabannya dengan cara yang terbaik : Masih keinget banget rasanya deg-degan sebelum pengumuman grup koas, men katanya grup koas ini jauh lebih menentukan dibanding urutan stasemu atau apapun karna kamu bakalan ngehabisin ratusan harimu bareng orang-orang itu aja dan sekalinya kamu dapat yang ga klop : Welcome to the T-rex jungle. Koas berasa ada di tengah hutan yang ga bisa di waze/google map, ga ada makanan, ga ada wifi dan ada T-rexnya : Jadi se-ga banget itu. Saat hari-H tau temen-temen grup koas yang kepikiran langsung "Oh oke ga ada yang ga banget sih. Beberapa ga kenal tapi kayaknya lumayan aja" 12 belas orang yang keliatannya normal dan baik-baik saja ini. Waktu itu belum ngerti kalo mereka  cuma keliatannya  demikian. Your "Dek Koas" for the next 21 months, yeay! Foto diatas diambil setelah pembekalan hari terakhir di RSUP Sardjito a.k.a masih jaim dan belum terpapar kehidupan koas yang....ugh. Gitulah....