Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Keinginan untuk (tidak) mengubah orang lain

Salah satu stase yang berkesan saat stase klinis sebagai dokter muda a.k.a koas dulu adalah stase jiwa, untuk alasan yang berbeda-beda. Satu diantaranya adalah pelajaran sederhana tapi bermakna untuk melihat masalah lewat kacamata pemecahan yang berbeda; untuk tidak mengubah orang lain. Adalah dr. Mahar SpKJ, gurunda di departemen ilmu kejiwaan FK UGM yang mengajarkan konsep ini. Bukan, ilmu kejiwaan bukan ilmu tentang posisi planet dan siapa yang tepat menjadi belahan jiwamu tapi ilmu tentang bagaimana kita manusia, mengenal cara otak kita bekerja dalam mempersepsikan dunia, dan menerima persepsi ini untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Terdengar mudah, tapi selayaknya semua yang berhubungan cara kerja tubuh manusia, terlebih yang berhubungan dengan pikiran, seyogyanya bersifat kompleks. Guru saya ini dikenal memiliki kepribadian yang unik, dan saya mengagumi beliau atas prinsip dan pola pikirnya. Beliau selalu mengajarkan untuk melihat permasalahan kesehatan jiwa dalam konteks sosi

Pulang?

Tulisan ini dibuat sembari menunggu pesawat untuk pulang ke Jogja.       Teringat untuk melanjutkan tulisan ini ketika akan checkout barang yang dibeli secara daring dan perlu menentukan akan dikirim kemana barangnya. Ada tiga alamat “rumah” di tiga kota berbeda yang didaftarkan di sho**e. Oh, well .      I have been living like a nomad for the last few years . Hidup berpindahnya udah lama, tapi dalam empat tahun terakhir ini, sudah tinggal di ENAM kota. Alasan utama perpindahan ini ada beberapa tapi utamanya memang terkait pendidikan ataupun pekerjaan. Sebenarnya banyak hal menyenangkan (disertai opportunity cost -nya tentu saja) yang datang bersama hidup yang berpindah-pindah ini. Yang pertama tentu saja punya kesempatan melihat hidup dari berbagai sisi, melihat cerita dan budaya yang berbeda. I kind of see life as a story about a journey where we human just tried to figure things out (we might not be able to discover everything but that’s fine, to try is the entire point) . Tapi ya

Sepatu lari dan makna rezeki

Ada postingan salah satu dokter penanggung jawab pasien (DPJP) yang kemudian mengingatkan kalau sudah lama ingin menulis tentang ini; tentang rezeki dan sepatu lari yang dicari berhari-hari. Sejak terinspirasi Haruki Murakami dan mulai rutin lari di 2018, saya ga pernah ganti sepatu. Kebetulan waktu itu punya Sketcher yang sebenarnya bukan sepatu lari dan ga ada stabilizernya, tapi ya udah dipakai aja. Sayangnya tipe memory foam yang ada di sepatu ini menyebabkan bentuk alas sepatu menjadi mengikuti bentuk kaki berdasarkan titik beban terberat. Bentuk alas yang berubah ini karena terlalu soft malah ga bagus buat bentukan lari dan lutut. Tapi ini sepatu lari satu-satunya, sudah dicoba mencari dengan sepatu lain, belum berjodoh ternyata. Tiga tahun dan 500+ kilo kemudian, lutut dan telapak kaki mulai terasa sakit dipakai lari kurang dari 5km, padahal postur tubuh dan track ga ada yang berubah. Akhirnya terpaksa cuti lari hampir dua bulan yang untungnya bertepatan dengan kesibukan kuli