Langsung ke konten utama

Sepatu lari dan makna rezeki



Ada postingan salah satu dokter penanggung jawab pasien (DPJP) yang kemudian mengingatkan kalau sudah lama ingin menulis tentang ini; tentang rezeki dan sepatu lari yang dicari berhari-hari.

Sejak terinspirasi Haruki Murakami dan mulai rutin lari di 2018, saya ga pernah ganti sepatu. Kebetulan waktu itu punya Sketcher yang sebenarnya bukan sepatu lari dan ga ada stabilizernya, tapi ya udah dipakai aja. Sayangnya tipe memory foam yang ada di sepatu ini menyebabkan bentuk alas sepatu menjadi mengikuti bentuk kaki berdasarkan titik beban terberat. Bentuk alas yang berubah ini karena terlalu soft malah ga bagus buat bentukan lari dan lutut. Tapi ini sepatu lari satu-satunya, sudah dicoba mencari dengan sepatu lain, belum berjodoh ternyata.

Tiga tahun dan 500+ kilo kemudian, lutut dan telapak kaki mulai terasa sakit dipakai lari kurang dari 5km, padahal postur tubuh dan track ga ada yang berubah. Akhirnya terpaksa cuti lari hampir dua bulan yang untungnya bertepatan dengan kesibukan kuliah dan menyelesaikan thesis. 

Selama itu juga, mencari pengganti sepatu lain. Dibuatlah budget dan proses mencari dari berbagai referensi. Pilihan pertama jatuh kepada On Running cloud 9; review bagus, tampilan pun menarik (dan brand ambassador-nya Federer HAHA). Sayangnya, meskipun sudah jatuh hati ketika mencoba langsung, harganya ternyata jauh diatas budget yang dipersiapkan. Berhubung pembeliannya sudah mendekati waktu kepulangan (yang juga memakan biaya) akhirnya memutuskan mengurungkan niat membeli. Ada prioritas lain. 

Akhirnya, tepat di sore hari setelah presentasi thesis nekat memutuskan akan mencari sekali lagi ke DFO South Wharf, salah satu pusat pembelanjaan yang sudah dikunjungi beberapa waktu sebelumnya namun belum membuahkan hasil. Setelah mencoba sekian banyak mode dan ukuran, akhirnya ada satu yang cocok; Nike Pegasus 36, black. Standar. Tidak banyak yang istimewa dari sepatu ini; midsole, ringan, berlogo Nike dengan ukuran normal disampingnya, dan cukup stabil pada sole-nya yang salah satu feature utama yang dicari mengingat bentukan kaki yang memang membutuhkan ini.

Ternyata, belum ada ukuran yang pas. Dari gudang juga udah ga ada, lalu oleh salesnya disarankan untuk mencari ke DFO yang lain. DFO kedua ada di barat kota, hasilnya sama, nihil juga. Belum menyerah, akhirnya mengunjungi DFO yang ketiga. Butuh waktu hampir tiga jam menggunakan kendaraan umum untuk ke DFO ini. Tiba saat udah malam, hampir tutup pula. Namun terbayar ketika bertanya dan menemukan ukuran yang pas. Pegasus 36 ini, sekarang adalah sepatu favorit yang selalu dipakai lebih dari sekedar untuk lari. Ia selalu dibawa kemana-mana, bahkan dalam proses berpindah-pindah hingga tujuh kota selama beberapa bulan terakhir ini, ia selalu terpasang di kaki. I like it a lot

Proses mencari sepatu ini menjadi semacam pengingat; I think life is basically that way too. Ketika yang ada saat ini ga pas, friksi-friksi kecil yang terjadi akan terakumulasi dan menyebabkan trauma dalam jangka panjang. Mencari pengganti pun akan sulit, tapi ketika menemukan yang pas? It is all worth it. Kadang mikir, ah udahlah, yang ada aja, nyari lagi susah kayaknya, gimana kalau ga nemu, kalau ga pas, mau nyari berapa toko lagi? Tapi, memang begitu kan, apa-apa yang pas emang ga selalu mudah buat ditemukan? Dicari aja, apa-apa yang memang dibutuhkan dalam hidup, be it a career or whatever it is. Kalau emang rezekinya, sama seperti sepatu lari ini, pasti akan ketemu juga biarpun mungkin mencarinya harus ke beberapa toko yang berbeda.

Pun foto yang menjadi pengingat buat menulis ini mengingatkan akan hal serupa dalam hubungannya akan rezeki dan usaha; sepatu ini adalah bentuk rezeki yang udah Allah siapkan (lewat visi brilliant Phil Knight dan tim Nike tentu saja) yang menemukan caranya lewat sistem kapitalisme untuk sampai di kaki saya. HAHAHA. Okay, that was dark. Tentang rezeki ini, ada satu ucapan salah satu ulama yang sangat saya sukai; rezeki itu adalah apa yang kamu konsumsi, kamu nikmati, kamu habiskan. Ada sekian banyak hal di dunia ini tapi ga semua bisa dan perlu kita nikmati, yaudah, itu sekedar bukan rezeki kita. Tentu argumen ini bisa disanggah dengan berbagai teori ekonomi, but I am not here for it. Tanggal merah, mau nulis yang ringan-ringan aja. Bahas opportunity cost, inekualitas dan paradox of choice-nya kapan-kapan aja.

All in all, I hope you find whatever it is that you’re looking for in life. And if you haven’t, may you have the patience and tenacity to keep going. Know that we are cheering for you, every step along the way.


As for me? I know I’ll go for five more stores if that means finding the right shoes.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak bangsa yang belakangan sudah mulai surut, padahal kecintaan terhadap pendiri bangsa inilah salah satu pondasi untuk membangkitkan cinta kepada rakyat dan negeri kita tercinta, Indonesia.                 Agus Salim, yang lahir dan besar di Koto Gadang, Agam, Padang adalah salah satu pemain inti dalam perjuangan mendapatkan dan mempertahakan kemerdekaan Indonesia. Dalam buku ini dikisahkan mengenai Agus Salim dan peranannya sejak awal dalam perumusan pancasi

Festival Durian Hutumuri

“Satu biji durian itu 57 kalori loh” ujar seorang teman mengingatkan via DM Instagram beberapa hari sebelum saya menghabiskan sekitar 1500 kalori king of fruit ini di Hutumuri. Siang itu jumat 6 April, saya sedang iseng jalan-jalan sendirian ke daerah Waiheru-Passo dan ga sengaja ngeliat banner bertuliskan “Festival Durian Hutumuri, 7 April 2018” Hah? Festival apa? Sebagai manusia yang lemah terhadap durian, teman-teman internship di grup Whatsapp saya kabari dengan segara dan kami lalu bersepakat, nanti setelah maghrib saya akan ngecek tiketnya dulu ke Ambon City Center lalu tandjap kita besok harinya. Ternyata begitu sampai di ACC, jreng. Loket tiketnya udah tutup. Apa-apan??! Hahaha tapi hidup mewajibkan untuk tidak mudah berputus asa punya kenalan (thanks Ninikski) dan akhirnya dapat info kalau masih boleh beli tiket on the spot . Paginya formasi yang awalnya akan berangkat berempat jadi tinggal bertiga wanita karena ada yang harus jaga IGD pagi, okelah tentu yang

Setelah koas - Sepenggal 15210

Tuhan selalu memberikan jawabannya dengan cara yang terbaik : Masih keinget banget rasanya deg-degan sebelum pengumuman grup koas, men katanya grup koas ini jauh lebih menentukan dibanding urutan stasemu atau apapun karna kamu bakalan ngehabisin ratusan harimu bareng orang-orang itu aja dan sekalinya kamu dapat yang ga klop : Welcome to the T-rex jungle. Koas berasa ada di tengah hutan yang ga bisa di waze/google map, ga ada makanan, ga ada wifi dan ada T-rexnya : Jadi se-ga banget itu. Saat hari-H tau temen-temen grup koas yang kepikiran langsung "Oh oke ga ada yang ga banget sih. Beberapa ga kenal tapi kayaknya lumayan aja" 12 belas orang yang keliatannya normal dan baik-baik saja ini. Waktu itu belum ngerti kalo mereka  cuma keliatannya  demikian. Your "Dek Koas" for the next 21 months, yeay! Foto diatas diambil setelah pembekalan hari terakhir di RSUP Sardjito a.k.a masih jaim dan belum terpapar kehidupan koas yang....ugh. Gitulah.