Langsung ke konten utama

Keinginan untuk (tidak) mengubah orang lain

Salah satu stase yang berkesan saat stase klinis sebagai dokter muda a.k.a koas dulu adalah stase jiwa, untuk alasan yang berbeda-beda. Satu diantaranya adalah pelajaran sederhana tapi bermakna untuk melihat masalah lewat kacamata pemecahan yang berbeda; untuk tidak mengubah orang lain.

Adalah dr. Mahar SpKJ, gurunda di departemen ilmu kejiwaan FK UGM yang mengajarkan konsep ini. Bukan, ilmu kejiwaan bukan ilmu tentang posisi planet dan siapa yang tepat menjadi belahan jiwamu tapi ilmu tentang bagaimana kita manusia, mengenal cara otak kita bekerja dalam mempersepsikan dunia, dan menerima persepsi ini untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Terdengar mudah, tapi selayaknya semua yang berhubungan cara kerja tubuh manusia, terlebih yang berhubungan dengan pikiran, seyogyanya bersifat kompleks. Guru saya ini dikenal memiliki kepribadian yang unik, dan saya mengagumi beliau atas prinsip dan pola pikirnya. Beliau selalu mengajarkan untuk melihat permasalahan kesehatan jiwa dalam konteks sosialnya. Bagaimana memberdayakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam fase stabil agar tetap bisa menjalankan perannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang kontributif? Bagaimana pendekatan penanganan post-partum depression pada perempuan dengan tingkat sosial ekonomi bawah yang buru-buru punya me time, mengerti bahwa depresi paska kelahiran sebagai suatu diagnosis klinis pun dia mungkin tak tahu? 

Singkat cerita, sebagai salah satu syarat kelulusan dari stase psikiatri sebagai dokter muda, kami perlu menjalani ujian akhir dengan beliau. Pada salah satu pertanyaan ujian, kami dihadapkan pada suatu kasus seorang remaja dengan buta warna yang ingin mengikuti seleksi sebagai pilot (menjadikan tidak buta warna sebagai syarat seleksinya). Apa penanganan pada pasien ini? Secara otomatis, pikiran koas yang “sophisticated” ini segera saja mencari jawaban atas permasalahan dengan kaidah dan pola pikir paling canggih yang terpikirkan, ketika jawabannya begitu sederhana; bagaimana jika remaja ini diajak diskusi untuk bekerja di bidang lain yang tidak membutuhkan kualifikasi buta warna? Merubah cara berpikirnya; melihat kondisi buta warna ini sebagai suatu kenyataan yang perlu diterima, dan tidak memaksakan mengubah diri seseorang hanya agar ia cocok dengan suatu impian tertentu. That’s it.

It stopped me to think. Dang, I am a such hammer seeing every problem as a nail.

Pada situasi baru dimana kita perlu menjalin hubungan (pertemanan, pekerjaan, romansa) seringkali kita sudah memiliki gambaran, misalnya pertemanan seperti apa yang kita cari didalam kepala kita. Masalah timbul ketika gambaran pertemanan ini tidak kita temukan pada orang baru tersebut hingga untuk mencapai tujuan kita pun terpikir, bagaimana jika si A ini kita ubah agar sesuai dengan bayangan kita? Alih-alih melihat pemecahan masalah dengan memaksakan seseorang untuk berubah, kita sebenarnya memiliki alternatif lain; mengidentifikasi apakah yang kita cari bisa ditemukan, ataukah baiknya merubah saja cara berpikir kita dalam mencari pemecahannya?

Sebagian besar dari kita yang saling mengenal saat ini, bertemu setelah kita mencapai usia tertentu ketika kepribadian masing-masing telah terbentuk. Berharap bisa mengubah seseorang yang baru kita kenal adalah perbuatan yang bisa jadi sia-sia. Tentu, sebagai manusia kita memiliki tendensi untuk membantu orang lain, yang membuat kita berpikir bahwa jika seseorang memiliki “kekurangan” maka kita bisa “membantu” orang tersebut “memperbaiki” kekurangannya. Suatu kepercayaan yang kemudian menegasikan konteks yang lebih luas; pola asuh, kebiasaan, pengalaman hidup, dan nilai yang sudah internalisasi, selama puluhan tahun dan menjadi bagian dari diri dan identitas orang tersebut. 

Sedikit mengutip dari surat Ar-Ra’d ayat 11: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Yang kurang lebih (kurangnya tentu dari saya) bahwa manusia bisa berubah, tetapi tidak ada yang bisa mengubah seseorang melainkan orang itu sendiri.

Dalam konteks yang lebih luas, bahwa bisa atau tidaknya merubah seseorang tergantung pada banyak hal, dua diantaranya;

  1. Seberapa kuat hal tersebut sebagai kepribadian; Merubah sifat yang sudah menjadi kepribadian seseorang, sesuatu yang ia percayai mendefinisikan dirinya akan sulit. Hal ini karena pikiran kita mengasosiasikan diri dengan sifat tertentu, bisa jadi ada krisis identitas ketika ada orang lain yang ingin merubah kita. Mengutip James Clear dalam bukunya Atomic Habit, bahwa merubah identitas seseorang adalah paling awal dalam merubah kebiasaan. You’re not just reading, you’re a reader.
  2. Cara berpikir; Sampai usia awal 20an, tidak pernah terpikirkan bahwa tiap-tiap dari kita adalah individu dengan sekumpulan nilai yang sudah utuh dan terbentuk. Nilai yang kemudian menentukan cara kita melihat dunia dan mempengaruhi tindakan yang kita ambil sehari-hari. Pun cara kita melihat dunia bukanlah satu-satunya cara dunia bekerja. Pandangan dan nilai kita tentang dunia hanya mewakili 0.000000001% dari apa yang sebenarnya terjadi tapi bisa jadi mewakili 80% cara kita memahami bagaimana dunia bekerja. Tentu nilai dan cara berpikir ini bisa kita ubah, tapi keinginan belajar-menghapus yang dipelajari-mempelajari ulang (learn-unlearn-relearn) adalah kebiasaan yang harus diusahakan secara sadar.

Jika apa yang dicari tidak ditemukan dalam orang-orang tertentu, pilihannya ada; Menerima orang tersebut terlepas dari ekspektasi kira, mencoba merubah atau mencari pilihan lain yang lebih sesuai dengan apa yang kita cari. Terkadang kita menjadi terlalu optimis, mencoba untuk melihat “kemungkinan terbaik” pada sehingga melupakan bahwa ada alternatif lain.

Jadi, apakah semua hal dan orang kita biarkan saja untuk tidak berubah? Tentu tidak, tapi penting untuk bisa menentukan mana yang perlu dan bisa kita ubah dan tidak. I like this one famous line from the serenity prayer that goes; God grant me the serenity to accept the things I cannot change, courage to change the things I can change; and wisdom to know the difference.

Again, it will take wisdom for us to be there, but we will be there.

Bertahun-tahun setelah ujian di lantai dua bagian psikiatri RS Sardjito itu, pelajaran yang sama masih melekat; di jalan hidup yang bermacam-macam ujian dan jawabannya ini, ingatlah bahwa ada alternatif untuk membuat hidup lebih mudah dengan berkeinginan untuk tidak mengubah orang lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak bangsa yang belakangan sudah mulai surut, padahal kecintaan terhadap pendiri bangsa inilah salah satu pondasi untuk membangkitkan cinta kepada rakyat dan negeri kita tercinta, Indonesia.                 Agus Salim, yang lahir dan besar di Koto Gadang, Agam, Padang adalah salah satu pemain inti dalam perjuangan mendapatkan dan mempertahakan kemerdekaan Indonesia. Dalam buku ini dikisahkan mengenai Agus Salim dan peranannya sejak awal dalam perumusan pancasi

Festival Durian Hutumuri

“Satu biji durian itu 57 kalori loh” ujar seorang teman mengingatkan via DM Instagram beberapa hari sebelum saya menghabiskan sekitar 1500 kalori king of fruit ini di Hutumuri. Siang itu jumat 6 April, saya sedang iseng jalan-jalan sendirian ke daerah Waiheru-Passo dan ga sengaja ngeliat banner bertuliskan “Festival Durian Hutumuri, 7 April 2018” Hah? Festival apa? Sebagai manusia yang lemah terhadap durian, teman-teman internship di grup Whatsapp saya kabari dengan segara dan kami lalu bersepakat, nanti setelah maghrib saya akan ngecek tiketnya dulu ke Ambon City Center lalu tandjap kita besok harinya. Ternyata begitu sampai di ACC, jreng. Loket tiketnya udah tutup. Apa-apan??! Hahaha tapi hidup mewajibkan untuk tidak mudah berputus asa punya kenalan (thanks Ninikski) dan akhirnya dapat info kalau masih boleh beli tiket on the spot . Paginya formasi yang awalnya akan berangkat berempat jadi tinggal bertiga wanita karena ada yang harus jaga IGD pagi, okelah tentu yang

Setelah koas - Sepenggal 15210

Tuhan selalu memberikan jawabannya dengan cara yang terbaik : Masih keinget banget rasanya deg-degan sebelum pengumuman grup koas, men katanya grup koas ini jauh lebih menentukan dibanding urutan stasemu atau apapun karna kamu bakalan ngehabisin ratusan harimu bareng orang-orang itu aja dan sekalinya kamu dapat yang ga klop : Welcome to the T-rex jungle. Koas berasa ada di tengah hutan yang ga bisa di waze/google map, ga ada makanan, ga ada wifi dan ada T-rexnya : Jadi se-ga banget itu. Saat hari-H tau temen-temen grup koas yang kepikiran langsung "Oh oke ga ada yang ga banget sih. Beberapa ga kenal tapi kayaknya lumayan aja" 12 belas orang yang keliatannya normal dan baik-baik saja ini. Waktu itu belum ngerti kalo mereka  cuma keliatannya  demikian. Your "Dek Koas" for the next 21 months, yeay! Foto diatas diambil setelah pembekalan hari terakhir di RSUP Sardjito a.k.a masih jaim dan belum terpapar kehidupan koas yang....ugh. Gitulah.