I have been living like a nomad for the last few years. Hidup berpindahnya udah lama, tapi dalam empat tahun terakhir ini, sudah tinggal di ENAM kota. Alasan utama perpindahan ini ada beberapa tapi utamanya memang terkait pendidikan ataupun pekerjaan. Sebenarnya banyak hal menyenangkan (disertai opportunity cost-nya tentu saja) yang datang bersama hidup yang berpindah-pindah ini. Yang pertama tentu saja punya kesempatan melihat hidup dari berbagai sisi, melihat cerita dan budaya yang berbeda. I kind of see life as a story about a journey where we human just tried to figure things out (we might not be able to discover everything but that’s fine, to try is the entire point). Tapi yang datang bersamaan dengan kesempatan untuk melihat dan merasakan hidup di tempat baru ini adalah membawa dan memulai hidup dari satu kota ke kota lainnya. Packing dan unpacking dalam jumlah besar, life and memories packed and moved, from place to place. Belum lagi mencari tempat tinggal baru, berusaha mengenal daerah yang ditempati dan terutama, mencoba mengenal lagi manusia-manusia baru dengan cara hidupnya.
Selain itu, memang ga bisa dipungkiri, selama hidup berpindah-pindah ini banyak hal yang kemudian menjadi terlewatkan; lahiran keponakan, nikahan teman, berpulangnya sanak keluarga. Thank God for the internet, but sometimes there is this trail of guilty feeling, of wishing I could just throw away my dreams, took a flight home and be there forever. Unfortunately, life doesn’t work that way. It’s delicate, complicated, and baby we have to deal with it even if that means bruising our hearts every now and then.
Lalu terpikir, mencari rumah ini mungkin adalah apa yang dirasakan banyak dari kita the so-called millennials ini. Selain karena harga rumah yang memang mahal (uhuk, I will not this one passed) ketidakpastian bagi kita yang baru merintis karir ataupun belum menikah ini membuat menentukan “rumah” menjadi lebih sulit. Sebelum pulang dari Melbourne tahun lalu sempat ada keinginan untuk bisa hidup settle di satu tempat, tapi pada kenyataannya hidup masih mendorong dan mengarahkan untuk berpindah tempat tinggal. Semua halau pikir mengenai pulang dan rumah ini, juga berulang kali berujung pada satu tanya, apakah rumah tempat atau ia bisa ada pada sosok orang?
Semenjak merantau belasan tahun yang lalu, rumah adalah diri sendiri yang selalu dibawa kemanapun pergi, seperti layaknya kura-kura. Tapi rasanya semakin hari semakin tidak menentu apa artinya pulang, kemana itu pulang.
Mudik a.k.a pulang ke rumah orang tua memang menjadi salah satu bentuk pulang yang paling familiar. Tapi bahkan ketika berada disanapun, rasanya segala hal berubah meskipun pada saat yang bersamaan semuanya seperti sama saja. Kotanya, orang-orangnya. Ruang dan waktu memang bergerak dengan cara yang tidak biasa. Atau mungkin hanya perspektif yang berubah dan butuh disesuaikan dengan kehidupan yang hanya dikunjungi setahun sekali ini? Entahlah.
Oh iya, harus nentuin mau dikirim kemana ini barangnya *nyari free ongkir*.
Komentar
Posting Komentar