Langsung ke konten utama

Tentang Ayah


            Siapapun kamu, bagaimanapun cara kamu memanggilnya, kamu akan selalu menemukan sosok terbaik dalam satu nama yang biasa dipanggil "Ayah". Ia adalah gambaran seorang anak laki-laki tentang seperti apa ia dimasa depan. Ayahpun adalah gambaran seorang anak perempuan tentang seperti apa calon suami impiannya kelak. Dan karena rindu, mari kuceritakan sedikit tentang lelaki kebanggaanku yang satu ini.

            Ayahku adalah seorang lelaki yang lahir, tumbuh dan menjalani kehidupannya sebagai penghuni bagian timur Indonesia. Postur tubuh ayah adalah tipikal lelaki ambon pada umumnya; berkulit hitam dengan tinggi rata-rata dan bersuara keras, wajah beliaupun sangat khas orang ambon - Galak. Sekilas rasanya tidak aneh bila bagi  orang yang pertama kali bertemu, ayah memang jauh dari kesan ramah. Beliau orang yang tergolong keras termasuk dalam mendidik anak-anaknya. Tetapi dibalik perawakan ambonnya yang kental ayah sangat baik hati. "Domba berbulu serigala" begitulah dari dulu aku dan kakakku selalu menggambarkan kebaikan ayah yang tersembunyi wajah garangnya.

            Dua puluh tahun menjalani hidup sebagai anaknya, ayah tidak pernah mengajarkan bagaimana visi hidupnya. Kami tidak mendengar apapun tentang bagaimana seharusnya kami menjalani hidup, kami menyaksikannya secara langsung. Ayah pernah sekali dulu mengatakan ketika aku masih duduk dibangku kelas satu atau dua SMP tentang "Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi sesama" aku kecil tak pernah tau kalau lah itu sebuah hadits. Ayah pun tak pernah memberi tahu itu apa. Aku tak mengerti kecuali secara bahasa arti dari kalimat itu. Tetapi menjadi anaknya semakin hari aku belajar dengan melihat bukti nyata.

            Ayah selalu suka teh dan kue buatanku walaupun aku sendiri kadang tak yakin apa rasanya. Aku pun selalu suka menunggui ayah pulang, jika beliau sedang mengunjungiku disini atau ketika aku sedang pulang ke rumah. Ayah adalah teman begadangku sejak kecil. Aku kecil yang nakal sangat suka menonton televisi hingga larut. Aku dan ayah sama - sama menyukai film laga. Aku suka menikmati Tehku dengan ayah dan ayah sangat mengerti kesukaanku tentang makanan. Aku mungkin tidak banyak bercerita bahwa ada begitu banyak makanan yang kusukai tapi the top most  makanan favoritku selalu ayah ingat. Waktu- waktu terbaikku adalah menghabiskan sarapan bersama ayah, berbicara tentang apa saja termasuk berita terhangat di koran.

            Berbeda denganku yang telah banyak menikmati dimanjakan kehidupan termasuk persoalan pendidikan, ayah sayangnya tidak pernah sempat menikmati nikmat bangku pendidikan universitas. Ayah yang lulusan tahun 70an akhir hanya berpendidikan terakhir SMA, meskipun begitu bagiku tidak ada yang tidak hebat dari ayah. Kemampuannya bekerja tanpa lelah, membuat beliau berhasil menyekolahkan ketiga anaknya sampai bangku universitas. Dan harus kukatakan ini karena kebanggaanku kepadanya : Tidak banyak ayah lainnya di daerah tempat asalku yang mampu melakukan hal yang demikian.

            Akan ada berpuluh halaman mungkin bila kutuliskan semua kerinduan dan kedekatanku dengan ayah. Menutup kerinduan dengan mengirimkan do'a mungkin salah satu cara karena jarak masih membatasiku melihat senyum di wajah beliau. Semoga lelaki paling berharga ini selalu dijaga dan dicintai oleh-Nya. Segala puji bagi-Nya karena telah mengirimkan hadiah sebagai pelindung keluarga kami. Terima kasih ayah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak ban...

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1...

Setelah koas - Sepenggal 15210

Tuhan selalu memberikan jawabannya dengan cara yang terbaik : Masih keinget banget rasanya deg-degan sebelum pengumuman grup koas, men katanya grup koas ini jauh lebih menentukan dibanding urutan stasemu atau apapun karna kamu bakalan ngehabisin ratusan harimu bareng orang-orang itu aja dan sekalinya kamu dapat yang ga klop : Welcome to the T-rex jungle. Koas berasa ada di tengah hutan yang ga bisa di waze/google map, ga ada makanan, ga ada wifi dan ada T-rexnya : Jadi se-ga banget itu. Saat hari-H tau temen-temen grup koas yang kepikiran langsung "Oh oke ga ada yang ga banget sih. Beberapa ga kenal tapi kayaknya lumayan aja" 12 belas orang yang keliatannya normal dan baik-baik saja ini. Waktu itu belum ngerti kalo mereka  cuma keliatannya  demikian. Your "Dek Koas" for the next 21 months, yeay! Foto diatas diambil setelah pembekalan hari terakhir di RSUP Sardjito a.k.a masih jaim dan belum terpapar kehidupan koas yang....ugh. Gitulah....