Pada tanggal 14 juni 1997
negara-negara anggota ASEAN telah menyetujui suatu visi untuk membentuk ASEAN
2020. Kesepakatan yang memetakan ASEAN untuk menuju ASEAN 2020 dengan
menciptakan Kawasan Ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi
diharapkan dapat menghasilkan: aliran bebas barang, jasa dan investasi, pembangunan
ekonomi yang merata, dan mengurangi kemiskinan serta kesenjangan
sosial-ekonomi, juga peningkatan stabilitas politik, ekonomi dan sosial.
Dalam salah satu poin ASEAN
Framework Agreement on Service (Selanjutnya dikenal dengan AFAS) yang dibuat
dan disepakati untuk mendukung visi ASEAN 2020 ditetapkan bahwa negara-negara
anggota ASEAN dapat menerima pendidikan atau pengalaman yang diperoleh, atau
lisensi atau sertifikasi yang diberikan di Negara Anggota ASEAN yang lain,
untuk tujuan lisensi atau sertifikasi pemasok jasa. Asean Mutual Recognition
Arrangements (selanjutnya disebut AMRA) adalah suatu kesepakatan yang dibuat
pada tahun 2008 untuk kualifikasi dalam jasa profesional demi memfasilitasi
pergerakan bebas tenaga profesional di
ASEAN. Beberapa tujuan dari dibentuknya AMRA
ini adalah :
·
Menfasilitasi mobilitas tenaga kesehatan para anggota ASEAN
· Pertukaran informasi dan memperbanyak kerjasama dalam hal saling pengakuan
antar tenaga kesehatan
·
Mengadopsi praktik terbaik berdasar pada standar dan kualifikasi,
dan
·
Memberikan kesempatan bagi peningkatan kapasitas dan pelatihan
praktisi medis
Paragraf
diatas dapat diartikan secara mudah menjadi : Pertukaran bebas dokter-dokter di
seluruh negara anggota ASEAN. AMRA yang akan diimplementasikan dalam kurang
dari 10 bulan lagi ini seharusnya mendapatkan lebih banyak perhaatian dari kita
semua termasuk mahasiswa. Mahasiswa yang notabenenya akan merasakan hasil
implementasi program ini seharusnya sadar bahwa ini semua adalah pisau bermata
dua yang disatu sisi berkesempatan memajukan Indonesia dan menjadikan negara
ini sebagai salah satu negara pemimpin ASEAN atau disisi lain akan menjadikan negara
ini objek eksploitasi. Apa hubungannya dengan mahasiswa kedokteran? Apakah kita
juga akan merasakan efek dari penjanjian antar negara ASEAN ini? Jawabannya
adalah YA.
Indonesia
tanpa persiapan akan menjadi pasar potensial bagi tenaga kesehatan asing
terutama mengenai pemerataan dokter ke daerah-daerah terpencil. PP 38 tahun
2007 yang menyatakan bahwa gubernur berhak mengatur distribusi tenaga kesehatan
sampai sekarang bukan hanya belum dilaksanakan bahkan terkadang belum diketahui
oleh pemerintah daerah sehingga pemerataan dokter di Indonesia masih saja
menjadi Pekerjaan Rumah kita bersama sekaligus menjadi tantangan terbesar dalam
menghadapi AMRA dimana kemungkinan dokter dari negara anggota ASEAN lainnya
tidak akan menyia-nyiakan peluang lapangan pekerjaan ini.
Pemerintah Indonesia, dalam peraturan sebelumnya yakni UU No. 29 Tahun 2004 telah mengatur Praktik Kedokteran termasuk yang mengenai peraturan dokter asing dimana untuk berkarir di Indonesia, seorang dokter asing harus memiliki surat tanda registrasi yang wajib diperbarui dalam kurun waktu 5 tahun sekali. Peraturan mengenai dokter/ tenaga kesehatan asing ini juga sebenarnya sudah tertuang dalam Permenkes No. 2052 tahun 2011 tentang Izin Praktik Kedokteran dan Permenkes no. 317 tahun 2010 tentang Tenaga Kesehatan Asing. Pun kedua UU dan Permenkes diatas masih sangat minimal dalam implementasinya.
Pemerintah Indonesia, dalam peraturan sebelumnya yakni UU No. 29 Tahun 2004 telah mengatur Praktik Kedokteran termasuk yang mengenai peraturan dokter asing dimana untuk berkarir di Indonesia, seorang dokter asing harus memiliki surat tanda registrasi yang wajib diperbarui dalam kurun waktu 5 tahun sekali. Peraturan mengenai dokter/ tenaga kesehatan asing ini juga sebenarnya sudah tertuang dalam Permenkes No. 2052 tahun 2011 tentang Izin Praktik Kedokteran dan Permenkes no. 317 tahun 2010 tentang Tenaga Kesehatan Asing. Pun kedua UU dan Permenkes diatas masih sangat minimal dalam implementasinya.
Kecenderungan
masyarakat kita yang akan lebih memilih dokter lulusan luar negeri ketimbang
dokter lokal tanpa secara serius mempertimbangkan kualitas pribadinya
adalah salah satu kelemahan sistemik yang sampai saat ini juga belum ada jalan
keluarnya. Sehingga kita harus memiliki persiapan agar dokter Indonesia tidak
kehilangan pasiennya. Dalam mempersiapkan AFTA 2015 seharusnya Indonesia
mempersiapkan regulasi internal untuk menghindari monopoli pihak asing. Kita
seharusnya memiliki peraturan internal agar tidak kehilangan baik pasien maupun
dokter Indonesia.
Terlepas dari
menyamakan kualitas dengan negara anggota ASEAN lainnya, secara internal
kualitas pendidikan kedokteran Indonesia sendiri masih butuh penyamaan kualitas
antar institusi. Tumpang tindih kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia masih
butuh perhatian lebih dari pihak pemerintah sehingga keputusan pemerintah yang terkesan
reckless untuk menyetujui
implementasi AMRA tanpa adanya usaha nyata untuk memperbaiki kualitas tenaga
kesehatan Indonesia seolah-olah menjerumuskan tenaga kesehatan kita ke dalam
sungai berarus deras AMRA tanpa menyediakan pelampung dan mengajarkan kita agar
bisa berenang.
Pemerintah
melepas tangan sehingga tunggu menunggu mengenai apa yang akan dilakukan
pemerintah terkait hal ini adalah suatu perbuatan yang tidak menjanjikan hasil apa-apa.
Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harusnya mengetahui bahwa melindungi
rakyat adalah tugas negara. Secara mudah dapat dikatakan bahwa melalui
kesepakatan ini tanpa usaha dan awareness
dari kita sebagai pihak terkait maka tidak mustahil kita akan menjadi 'turis'
di negara kita sendiri.
Apa
yang dapat kita lakukan? Sekarang tanyakan pada diri sendiri karena tidak ada
gunanya saling tunggu apalagi saling menyalahkan. Bergeraklah.
Komentar
Posting Komentar