Hidup mahasiswa!
Ada
suatu kejadian menarik yang kembali ditampilkan oleh isi kepala ini ketika ciri
khas masyarakat post moderinisme berkelebat kita bahas. Tiga kata : Populis,
menyentuh perasaan. Kejadian ini terjadi sekitar bulan september 2013 tepatnya
ketika hari pertama pelaksanaan LKMM Wilayah 3 ISMKI yang diselenggarakan di
Universitas Diponegoro. Pada saat itu para peserta diminta memikirkan apa saja
gerakan yang ingin diambil apabila kita memiliki kesempatan untuk itu, untuk
membuat suatu perubahan dalam kondisi ideal ( sumber daya mencukupi, etc).
Begitu kurang lebih instruksinya. Ada satu ide yang menarik untuk disimak waktu
itu sebagai trigger dari pihak
panitia yakni cerita bagaimana 11 orang pemain sepakbola bisa menggerakkan dan
menjadi pemersatu bangsa lewat permainan mereka. Rakyat pun kompak membela.
Lalu
kita mahasiswa akan melakukan apa? Teringat lah pada salah satu acara nasional
AMSA (Asian Medical Student Association) yang diadakan belum lama dari bulan
september itu dengan nama 'Shave for
hope'. Acara yang diadakan sebagai bagian dari tugas health ambassador AMSA ini memiliki tujuan mengundang masyarakat
untuk mengirimkan bantuan moril kepada anak-anak penderita kanker agar tidak
kehilangan semangat mereka untuk sembuh meskipun mereka harus mengalami hair loss sebagai bagian dari efek
samping kemoterapi. Acara ini kemudian berhasil mengumpulkan ribuan partisipan
bahkan sempat popular di dunia maya karena keikutsertaan seorang artis yang
terkenal dengan rambut kribonya, yang akhirnya tergerak untuk ikut men-shave asetnya tersebut. Populis,
menyentuh perasaan.
Tulisan
ini akan dimulai dengan pertanyaan. Sesuatu yang sudah lama menggantung ganjil
di kepala yang sepertinya baru-baru ini menemukan jawaban untuk bisa sedikit
dijinakkan. Beberapa waktu yang lalu ketika masih menjadi mahasiswa tahun
pertama, miskin ilmu dan informasi pertanyaan ini muncul "Kenapa
pergerakan ini sepi sekali? Kenapa mahasiswa begitu apatis terhadap kondisi
yang terjadi disekitar mereka" dan "Bukankah mereka memiliki
kemewahan itu, untuk menjadi 'the thinker'? Untuk mengerakkan dan mengubah arah
gerak bangsanya?"
Pertanyaan
ini tidak terjawab selama beberapa waktu, tertutup debu buku - buku tebal khas
kedokteran, terselip diantara ribuan slide lecture setiap bloknya. Pertanyaan
itu terlupakan oleh berbagai kesibukan dalam bulan - bulan yang berganti sampai
akhirnya belum lama ini seorang pembelajar muda, memberikan pandangan soal ini
: Post modernisme dan pergerakan mahasiswa.
Lalu,
mengapa post modernisme? Pembahasan yang menarik malam itu, dimulai dari
pertanyaan yang hampir sama mengenai letihnya pergerakan kaum intelektual
terpanggil "Mahasiswa" itu sekarang. Dimana letak kesalahan kita?
Perkembangan
zaman, cepatnya arus informasi sebagai bagian dari konsekuansi globalisasi mau
tak mau juga menyeret masyarakat Indonesia dalam arus post modernisme. Post
modernisme adalah suatu paham yang timbul sebagai reaksi atas hilangnya
kepercayaan pada modernitas dan visi besar/ideologi. Masyarakat Indonesia,
termasuk didalamnya mahasiswa kedokteran sedang bergerak memasuki era post
modernisme dimana masyarakat post modernisme memiliki kecenderungan tidak
percaya akan visi besar, anti-rasional dan tidak menyukai hal-hal yang terlalu
mengedepankan stuktural serta memiliki kecenderungan memilih pemimpin yang
dekat dengan mereka (populis).
Sepinya pergerakan bisa disebabkan oleh ini,
pertentangan ide-ide besar khas mahasiswa penggerak yang dianggap tidak membumi
oleh mayoritas mahasiswa lainnya yang mulai terbawa arus post modernisme. Hal
ini tentu saja menimbulkan tantangan baru bagi siapapun yang menyebut dirinya agent of change. Tantangannya bukan
hanya menjadi pemimpin yang dekat dengan masyarakatnya (populis), namun juga
seorang yang dapat mengejawantahkann visi besarnya menjadi gerakan-gerakan
'kecil' yang memberikan perubahan nyata.
Mahasiswa
Kedokteran seperti yang mungkin sudah dihapal oleh kita adalah merupakan mahasiswa
penggerak bangsa dalam sejarah. Dimulai dengan pergerakan Budi Oetomo hingga
pembentukan IMKI, yang telah mendarah daging pada mahasiswa kedokteran dan
harusnya terus tumbuh sebagai kemampuan, yakni kemampuan untuk membaca zaman.
Pasca pergerakan mahasiswa besar-besaran yang menggulingkan Orde Baru tahun
1998 pergerakan mahasiswa dapat dibilang senyap.
Beberapa
dari kita masih terbawa romansa mahasiswa sosialis sehingga ide-ide pergerakan
masih dibawa dengan bahasa yang belum membumi. Padahal zaman telah jelas
menunjukkan perubahan wajahnya. Mahasiswa yang jumlahnya kian bertambah membuat
tantangan yang harus dijawab oleh para penggerak tidak semakin ringan.
Mahasiswa yang semakin bertambah mau tak mau akan meminta 'wadah' yang lebih
beragam, yang dapat menampung aspirasi, minat dan bakat masing - masing dengan
tetap berpegang kepada suatu visi besar untuk Indonesia dimasa yang akan
datang.
Tidak
boleh kita lupakan, bahwa sejak zaman pergerakan hanya segelintir bangsa ini
yang menikmati manisnya ilmu pengetahuan. Pun dari segelintir itu lebih sedikit
lagi yang akhirnya peduli dan mulai bergerak, yang kemudian semakin sedikit
pula yang akhirnya konsisten memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak.
Segelintir yang peduli itu adalah mereka yang kemudian diberikan karunia berupa
kekuatan dan kesadaran bahwa rakyat ini adalah saudara mereka, negeri ini
adalah rumah mereka. Secara praktis, dapat lah kita katakan bahwa para
penggerak itu, orang-orang yang peduli terhadap bangsa itu adalah kita,
pengurus ISMKI.
Hal
ini kemudian membawa kita pada suatu pertanyaan, sudah siapkah kita? Harusnya
sudah. Seorang pemimpin, mereka yang menjadi penggerak harusnya adalah
orang-orang visioner yang bisa membumikan ide-ide besar menjadi langkah konkrit
yang bisa dinikmati langsung oleh orang lain. Kita seharusnya bisa menanamkan
rasa cinta pada ISMKI dengan perbuatan - perbuatan yang bisa langsung dirasakan
manfaatnya dan melepaskan keyakinan kita bahwa ISMKI adalah milik kita saja
karena ISMKI adalah milik seluruh mahasiswa
kedokteran Indonesia. Membumikan visi demi merangkul lebih banyak lagi
sejawat kita, mengapa tidak?
"Ini
tanah airmu, disini kita bukan turis" - Sajak kepada Bung Dadi.
Akhir tulisan ini, ada baiknya kita renungkan
potongan sajak dari Wiji Thukul diatas, semoga tetap menjadi cahaya yang
menerangi ketika hati cenderung redup karena kelelahannya berjuang.
anda termasuk dalam golongan "orang-orang yang berjalan di jalan sunyi".
BalasHapus