Cukup kah kita belajar?
On a short answer, nope. Never.
Tapi bukan itu yang jadi inti dari tulisan
kali ini. Akan tetapi bagaimana selama ini kita benar-benar belum cukup belajar
bahkan selama berada di tempat bernama universitas itu dan menyandang predikat
mahasiswa. Mahasiswa harusnya adalah terpelajar, mereka yang tercerahkan,
mereka yang diharapkan akan mendorong atau entahlah, menarik negara ini keluar
dari kondisinya yang selama ini konon jauh dari harapan masyarakatnya, jauh
pula dari kedigjayaan masa lalunya.
Benar pernyataan bahwa “Pintar secara
akademik tidak berarti pintar dalam kehidupan” akan tetapi bukankah untuk
pintar dalam kehidupan kita menempuh pendidikan selama ini? Dengan harapan
sebagai terpelajar kita bisa belajar secara lebih terintegrasi mengenai segala
aspek kehidupan? Tetapi sudahkah lembaga pendidikan kita mencerminkan semangat
ini dalam pelaksanaannya?
Ah. Mari mulai dulu dari diri kita sendiri.
Terlepas dari berapa banyak yang kita pelajari dalam ruang-ruang kelas, pembelajaran
lewat kehidupan nyata, lewat interaksi sosial, hubungan nyata (sorry but your
media social followers for some reasons are not counted here) dan tindakan yang
kita lakukan atau kita pelajari selama kehidupan di Universitas berperan
disini. Seberapapun terdengar tidak penting, tapi berorganisasi, melakukan
hubungan sosial yang sifatnya mengembangkan diri sangatlah penting terlepas
dimana kita bersekolah.
Nope. I don’t say that organization will be
the best option. Seperti kita sama-sama bersepakat bahwa jam tidur terbaik setiap
orang adalah berbeda dan menyesuaikan masing-masing, perlu juga kita bersepakat
rasanya tentang adanya perbedaan dalam pola pengembangkan diri tiap individu
mengingat betapa unik dan berbedanya masing-masing dari kita. Di era yang
katanya modern ini, akan ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan
diri, bersosialisasi, melengkapi status Mahasiswa kita dengan pelajaran yang
lebih terintegrasi, mengenai ekonomi, sosial, politik, budaya, agama. Negara
dan kehidupan. Ah, tak usahlah kau pisahkan keduanya, negara ada dalam
kehidupan sama seperti selama hidup kita bernegara.
Ada banyak ruang rasanya yang masih kosong
diantara apa yang telah kita pelajari selama di bangku pendidikan dengan apa
yang kita jalankan di kehidupan kita. Misalnya, selama di perguruan tinggi bagi
saya dan sejawat lainnya adalah lazim mempelajari mengenai perlunya tindakan
promotif dan preventif serta berbagai teori yang menyertainya. Tapi siapa pula
diantara kami yang mempelajari psikologi pendidikan? Siapa pula yang
mempelajari implikasi ekonomi dari penerapan tindakan promotif yang tidak tepat
hanya karena tak satupun dari kita mengerti mengenai psikologi pendidikan?
Ataupun kemampuan merancang program, memastikannya berjalan atas kesadaran
masyarakat, secara mandiri, bukankah kami terbiasa mengerjakan laporan tertulis
dan teori mengenai betapa pentingnya suatu program dijalankan secara sadar dan
mandiri oleh masyarakat. Siapa pula yang mengajarkan untuk duduk, menyeruput
kopi dan membicarakan keberlangsungan program ini dengan pendekatan
sosial-kultural?
Gap itu nyata. Komunikasi, improvisasi,
sosialisasi adalah apa yang perlu kita pelajari sebagai senjata kehidupan
sekaligus mengisi kekosongan yang tak terobati akibat “multidisipliner” pada
level universitas yang masih semboyan itu. Ah ya, bukan semboyan mungkin, tapi
adalah milik mereka yang menyadari dan mengusahakan sendiri pelaksanaannya.
Lalu, sudahkah kita pantas disebut mahasiswa?
Masih banyak yang perlu kita pelajari, semoga
keistiqomahan menyertai agar sadar diri dan tak berhenti.
Komentar
Posting Komentar