Thalia meluruskan kakinya dan
membiarkan napasnya memburu. Ia berselonjor dibatas trotoar barat sambil
melihat orang-orang yang berlalu lalang : Pasangan yang lari bersama, pria muda
yang lari sendirian, anak SMA yang asik berfoto. Ia sudah selesai dengan rutinitas
joggingnya sore ini di lapangan salah satu universitas terkenal di Yogyakarta
yang memang biasanya dijadikan tempat masyarakat melakukan aktivitas diluar
ruangan meskipun sebenarnya yang ia maksud dengan masyarakat lebih tepat disebut
anak muda. Rutinitas ini sudah ia jalani sejak dua bulan lalu, “biar bajunya
muat” begitu yang kerap ia ucapkan kepada Ninda temannya yang kebingungan
kenapa dara ini tiba-tiba kepincut olahraga. Thalia merogoh sakunya,
mengeluarkan handphone dan memencet tombol unlock. Tidak ada pesan masuk. Pukul
17.23. Ia memejamkan mata. Menyalakan lagi handphonenya dan membuka aplikasi
pesan, mengecek apakah Raka mungkin menghubunginya.
Raka Mahesa, tunangannya. Lulusan
universitas yang sama dengannya, yang ia temui di ruang IGD saat raka
mengantarkan adiknya priska yang demam disabtu malam setahun yang lalu
ketika Thalia kebetulan mendapat giliran jaga. Raka mahesa yang satu bulan lalu
melamarnya, alas an dibalik ia rutin menghabiskan sorenya berlari memutari
lapangan berkali-kali. Raka yang sekarang menjadi dingin dan sulit dihubungi.
Thalia menarik nafas panjang. Ia tau Raka sibuk sekali belakangan ini, membalas
pesan singkat Thalia dengan jawaban sepotong-sepotong, tak lagi ramai membahas
lelucon-lelucon yang thalia kirimkan kepadanya, tidak pula mengupdate Instagram
atau akun media sosialnya yang lain, raka bahkan membalas ucapana “I love you”
yang Thalia kirimkan hanya dengan balasan “Me too” sepuluh jam sejak pesan itu
ia kirimkan, padahal sebelumnya balasan Raka tidak pernah sekedar atau selama
itu. Thalia tau Raka memang selalu serius dengan pekerjaannya, justru itu salah
satu yang membuat ia menyukai Raka, karena tanggung jawabnya. Tapi Thalia
rindu, pesan terakhirnya pagi itu bahkan belum berbalas. Ia membaca pesan lama
mereka dan tersenyum. This too shall pass. “Mungkin akunya yang lagi sensi”
pikirnya.
Ia menutup chat dan menggeser
jarinya melihat satu pesan baru dari teman baiknya, Ninda yang mengirimkan
gambarnya dengan 5-6 orang bocah berwajah ceria, bertuliskan “Asli betah banget
di Waengapu!!” wajah Ninda tampak sumringah mesti jelas kulitnya terbakar
matahari. Ninda memang sedang melakukan pengabdian dengan salah satu NGO yang
bergerak didunia pendidikan mendirikan dan menjalankan perpustakaan bagi
anak-anak didaerah pesisir NTT, Thalia bisa melihat bahagianya gadis itu
menjalankan hal yang ia senangi, pendidikan dan pemeraatan. Thalia mengambil
gambar orang-orang yang berlalu lalang dan lapangan didepannya “The usual.
Kapan balik?” ia ketikkan. Ia sedang tak ingin menjelaskan. Thalia menghabiskan sisa sepuluh menit waktunya menikmati semburat jingga langit senja dalam diam mengagumi bagaimana keindahan bisa begitu terasa menyedihkan diwaktu yang bersamaan.
18.45. Ia sedang akan membaca
materi ujiannya yang tinggal hitungan minggu, ujian yang akan menentukan layak
atau tidaknya ia menyandang gelar itu didepan namanya, akhir dari enam tahun
masa kuliahnya ketika hapenya bergetar menunjukkan satu Line baru tertulis nama
Raka Mahesa “Kamu sibuk ga? Aku pengen ketemu. CafĂ© daerah prawirotaman yang
biasa ya, besok jam 5 sore. Jangan lupa makan malam Tha.” Ia menggenggam
handphonenya mengetikkan dengan cepat balasan mengiyakan janji besok, mengingatkan hal yang sama pada Raka dan menambahkan “I love you” pada akhir
pesannya yang berbalas “Me too” lima menit kemudian.
-To be continued-
I HAVE EXAM TO STUDY ABOUT. Why on earth did I write this instead???
-To be continued-
I HAVE EXAM TO STUDY ABOUT. Why on earth did I write this instead???
Komentar
Posting Komentar