Langsung ke konten utama

Dek Koas : Udah siap jadi dokter, dek?


“Hah? Ini beneran dok?” percampuran rasa kaget dan bingung itu mengawang dikepala “Iya dek, beneran yaudah kamu standby nanti ikut cuci ya” dokternya menjawab santai, cenderung sumringah jika boleh menambahkan. Hari itu akhir minggu pertama dijalani sebagai ‘dek koas’ bedah di salah satu rumah sakit di daerah Jateng. Sembari mencuci tangan dan melakukan prosedur aseptic pikiran tiba-tiba membisikkan sesuatu yang membuat terbayang dengan perasaan berat dan tanggung jawab yang mengganggu diri untuk merefleksikan diri dalam tulisan ini “Saya bakal motong tangan orang???”

Amputasi siang itu dilakukan kepada seorang pasien kami yang terkena sengatan listrik dengan indikasi medis sepsis untuk terpaksa kami selamatkan bagian tubuhnya yang lain, menghindarkan pasien dari kemungkinan meninggal akibat infeksi dari bagian tubuh yang membusuk akibat sengatan listrik itu. Selama operasi, dek koas yang sudah melewati stase-stase mayornya yang lain harus mengakui bahwa ini merupakan salah satu pasien paling berkesan ; seorang pria yang bahkan belum menginjak usia 30 tahun, calon bapak yang akan kehilangan tangan kanannya. Bagaimana kehidupan bapak ini setelah amputasi? Bagaimana ia menghidupi anak istrinya? Menghadapi pandangan masyarakat atas dirinya? 

Bagi dek koas, tak terpungkiri bahwa terkadang operasi rasa-rasanya hanya suatu operasi, tindakan, intervensi medis yang bahkan mungkin ketika lelah sudah menyergap erat sulit disangkal, ini terasa seperti suatu penggugur kewajiban, berharap semuanya segera berakhir memberi kesempatan untuk duduk, agar bahu dan tulang belakang dapat bersandar pada kursi kayu keras yang memberikan sedikit rasa nyaman bagi tubuh yang sudah berjam—jam berdiri ini.

Tapi siang itu  berbeda, kalau dulu membicarakan tanggung jawab berarti membicarakan konsep dan contoh, siang di ruang operasi nomor 9 ini tanggung jawab memberikan bentuk nyatanya lewat potongan tangan yang sudah busuk dan bengkak itu, terpegang penuh oleh kedua telapak tangan dengan kisaran berat 3 kilogram, mengeluarkan bau busuk dan tampakan tulang pada ujung satunya serta dingin terbalut perban pada ujung yang lain. Dalam hitungan detik yang bertahan hinga bermenit-menit kemudian ada perasaan tidak nyaman yang mengalir dingin di tulang belakang,  

Sulit rasanya membayangkan hidup bisa tanpa bagian tubuhmu yang selama ini ada dan melakukan apapun yang diperintahkan otakmu, mengikuti keinginanmu mulai dari  yang baik hingga yang buruk sekalipun. Lebih sulit lagi membayangkan bahwa kamu mempercayakan orang lain untuk memotong tanganmu sendiri.

Berbicara mengenai hubungan dokter pasien dan tanggung jawab kedua pihak adalah berbicara mengenai kepercayaan antar manusia yang paling mendasar: mempercayai kesehatan dan tubuh seseorang kepada yang lainnya, dua orang yang mungkin tidak pernah saling tahu sebelumnya hanya atas dasar itikad baik dari kedua pihak kita dipercaya untuk memeriksa pasien, melakukan maneuver dan berbagai intervensi, kita diberikan kepercayaan melihat dan menyentuh bagian-bagian privasi dari orang lain yang bahkan belum pernah dilihat orang-orang terdekatnya, semua dilakukan atas indikasi medis, atas dasar persetujuan dan mutual trust bahwa kita akan melakukan yang terbaik untuk mereka.. It's so beautiful if we’re about to think about it.

Dek koas yang menulis ini adalah koas stase mayor terakhir sebelum akhirnya berada pada ujung perjalanan menjadi dokter umum: UKMPPD, tetapi rasanya dibandingkan pertanyaan “Sudah siap UKMPPD?” perlu juga menanyakan diri sudah siapkah dengan tanggung jawab sebagai dokter? Dengan tanggung jawab untuk tidak menyelamatkan pasien dengan DNR, kesadaran bahwa ada juga pasien yang tidak bisa kita tolong bagaimanapun kita ingin menolong terasa menimbulkan efek tidak menyenangkan.

Sekalipun ada saat dimana koas terasa begitu melelahkan, lembar follow up yang tak ada habisnya, residen dan konsulen yang demanding ataupun pasien dengan berbagai tingkahnya pun kehidupan sosial diluar rumah sakit yang memiliki dinamikanya tersendiri: teman, pacar, organisasi, keluarga. Tidak ada yang salah dengan merasa lelah, tidak ada yang salah dengan merasa jenuh tidak ada yang salah dengan memberikan jarak dan waktu bagi diri sendiri untuk menikmati hidup tapi haruskah kita melampiaskannya kepada pasien yang sedang sakit dengan wajah kita yang tanpa senyum atau kata-kata kita yang ketus? Jika tidak bisa berbicara baik maka diamlah, jika terlalu lelah untuk menjelaskan terlalu panjang maka boleh menjelaskan yang terpenting, menyisakan sisa panjang penjelasan lain untuk hari esok ketika kepala telah lebih dingin dan senyum sudah bisa tersungging lagi.

“Meringankan penderitaan dan memperpanjang usia” – Tulisan yang terpampang jelas pada tangga ke lantai dua gedung administrasi fakultas yang akan selalu mengingatkan dan menguatkan disaat-saat saya butuh kekuatan itu, suara ceria orang tua dan balutan do’a-do’a mereka yang tak henti-hentinya dikirimkan ke langit meski terpisah jarak ribuan kilometer dan tak terdengar gemanya, pun bahagia yang terwujud senyum pasien dan keluarga ketika mengabarkan bagaimana ia telah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya dan dikabarkan bahwa ia boleh pulang hari ini.

Memang lebih mudah untuk lupa bahwa dalam setiap visite yang terasa seperti rutinitas harian itu kita telah bersentuhan dengan puluhan bahkan ratusan kehidupan yang mempercayakan diri kepada kita. Lalu ketika pertanyaan “Dek koas sudah siap jadi dokter?” itu sampai ditelinga, hanya hati yang berani menjawab bahwa ia akan menguatkan diri, mengusahakan semampunya bahkan ketika ia lelah dan setengah sadar menyalakan kendaraan menggunakan kunci kamar.

Selamat bekerja para dokter dan calon dokter dimana saja, semoga Allah selalu merahmati pekerjaan kita semua. Viva medika!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak ban...

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1...

Setelah koas - Sepenggal 15210

Tuhan selalu memberikan jawabannya dengan cara yang terbaik : Masih keinget banget rasanya deg-degan sebelum pengumuman grup koas, men katanya grup koas ini jauh lebih menentukan dibanding urutan stasemu atau apapun karna kamu bakalan ngehabisin ratusan harimu bareng orang-orang itu aja dan sekalinya kamu dapat yang ga klop : Welcome to the T-rex jungle. Koas berasa ada di tengah hutan yang ga bisa di waze/google map, ga ada makanan, ga ada wifi dan ada T-rexnya : Jadi se-ga banget itu. Saat hari-H tau temen-temen grup koas yang kepikiran langsung "Oh oke ga ada yang ga banget sih. Beberapa ga kenal tapi kayaknya lumayan aja" 12 belas orang yang keliatannya normal dan baik-baik saja ini. Waktu itu belum ngerti kalo mereka  cuma keliatannya  demikian. Your "Dek Koas" for the next 21 months, yeay! Foto diatas diambil setelah pembekalan hari terakhir di RSUP Sardjito a.k.a masih jaim dan belum terpapar kehidupan koas yang....ugh. Gitulah....