Langsung ke konten utama

Pulang?

Tulisan ini dibuat sembari menunggu pesawat untuk pulang ke Jogja. 

    Teringat untuk melanjutkan tulisan ini ketika akan checkout barang yang dibeli secara daring dan perlu menentukan akan dikirim kemana barangnya. Ada tiga alamat “rumah” di tiga kota berbeda yang didaftarkan di sho**e. Oh, well.

    I have been living like a nomad for the last few years. Hidup berpindahnya udah lama, tapi dalam empat tahun terakhir ini, sudah tinggal di ENAM kota. Alasan utama perpindahan ini ada beberapa tapi utamanya memang terkait pendidikan ataupun pekerjaan. Sebenarnya banyak hal menyenangkan (disertai opportunity cost-nya tentu saja) yang datang bersama hidup yang berpindah-pindah ini. Yang pertama tentu saja punya kesempatan melihat hidup dari berbagai sisi, melihat cerita dan budaya yang berbeda. I kind of see life as a story about a journey where we human just tried to figure things out (we might not be able to discover everything but that’s fine, to try is the entire point). Tapi yang datang bersamaan dengan kesempatan untuk melihat dan merasakan hidup di tempat baru ini adalah membawa dan memulai hidup dari satu kota ke kota lainnya. Packing dan unpacking dalam jumlah besar, life and memories packed and moved, from place to place. Belum lagi mencari tempat tinggal baru, berusaha mengenal daerah yang ditempati dan terutama, mencoba mengenal lagi manusia-manusia baru dengan cara hidupnya.

    Selain itu, memang ga bisa dipungkiri, selama hidup berpindah-pindah ini banyak hal yang kemudian menjadi terlewatkan; lahiran keponakan, nikahan teman, berpulangnya sanak keluarga. Thank God for the internet, but sometimes there is this trail of guilty feeling, of wishing I could just throw away my dreams, took a flight home and be there forever. Unfortunately, life doesn’t work that way. It’s delicate, complicated, and baby we have to deal with it even if that means bruising our hearts every now and then.

    Lalu terpikir, mencari rumah ini mungkin adalah apa yang dirasakan banyak dari kita the so-called millennials ini. Selain karena harga rumah yang memang mahal (uhuk, I will not this one passed) ketidakpastian bagi kita yang baru merintis karir ataupun belum menikah ini membuat menentukan “rumah” menjadi lebih sulit. Sebelum pulang dari Melbourne tahun lalu sempat ada keinginan untuk bisa hidup settle di satu tempat, tapi pada kenyataannya hidup masih mendorong dan mengarahkan untuk berpindah tempat tinggal. Semua halau pikir mengenai pulang dan rumah ini, juga berulang kali berujung pada satu tanya, apakah rumah tempat atau ia bisa ada pada sosok orang?

    Semenjak merantau belasan tahun yang lalu, rumah adalah diri sendiri yang selalu dibawa kemanapun pergi, seperti layaknya kura-kura. Tapi rasanya semakin hari semakin tidak menentu apa artinya pulang, kemana itu pulang. 

    Mudik a.k.a pulang ke rumah orang tua memang menjadi salah satu bentuk pulang yang paling familiar. Tapi bahkan ketika berada disanapun, rasanya segala hal berubah meskipun pada saat yang bersamaan semuanya seperti sama saja. Kotanya, orang-orangnya. Ruang dan waktu memang bergerak dengan cara yang tidak biasa. Atau mungkin hanya perspektif yang berubah dan butuh disesuaikan dengan kehidupan yang hanya dikunjungi setahun sekali ini? Entahlah.

Oh iya, harus nentuin mau dikirim kemana ini barangnya *nyari free ongkir*.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1...

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak ban...

Grieving - Part 1: The upside down world

Background: Staring at a peeled-beige wall, waiting in an empty office for my dad’s death certificate.  Facing another heartbreaking moment because two weeks ago, it never crossed my mind that I’d be writing my father’s name on a paper declaring his death. Gritting my teeth as hard as I could to keep me from crying. Was it a successful method? I won’t answer. Has anyone ever told you that when you cry too much, your head, eyes, nose, and even salivary glands can hurt all at the same time? Well, they can. I don’t think I’ve cried this hard since elementary school. I’m the kind of person who usually observes my thoughts and feelings, thinking, “Huh? Interesting” and sitting with them for hours until they settle. Yet this time, grief swallowed me like a tsunami. Those thought-watching processes didn’t stand a chance. My father’s passing came as a shock. I won’t share the details of his death, but the news arrived on an ordinary day as I prepared for my ICCU shift and for a while, my w...