Langsung ke konten utama

Carik kopi senja (1)

Thalia meluruskan kakinya dan membiarkan napasnya memburu. Ia berselonjor dibatas trotoar barat sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang : Pasangan yang lari bersama, pria muda yang lari sendirian, anak SMA yang asik berfoto. Ia sudah selesai dengan rutinitas joggingnya sore ini di lapangan salah satu universitas terkenal di Yogyakarta yang memang biasanya dijadikan tempat masyarakat melakukan aktivitas diluar ruangan meskipun sebenarnya yang ia maksud dengan masyarakat lebih tepat disebut anak muda. Rutinitas ini sudah ia jalani sejak dua bulan lalu, “biar bajunya muat” begitu yang kerap ia ucapkan kepada Ninda temannya yang kebingungan kenapa dara ini tiba-tiba kepincut olahraga. Thalia merogoh sakunya, mengeluarkan handphone dan memencet tombol unlock. Tidak ada pesan masuk. Pukul 17.23. Ia memejamkan mata. Menyalakan lagi handphonenya dan membuka aplikasi pesan, mengecek apakah Raka mungkin menghubunginya.

Raka Mahesa, tunangannya. Lulusan universitas yang sama dengannya, yang ia temui di ruang IGD saat raka mengantarkan adiknya priska yang demam disabtu malam setahun yang lalu ketika Thalia kebetulan mendapat giliran jaga. Raka mahesa yang satu bulan lalu melamarnya, alas an dibalik ia rutin menghabiskan sorenya berlari memutari lapangan berkali-kali. Raka yang sekarang menjadi dingin dan sulit dihubungi. Thalia menarik nafas panjang. Ia tau Raka sibuk sekali belakangan ini, membalas pesan singkat Thalia dengan jawaban sepotong-sepotong, tak lagi ramai membahas lelucon-lelucon yang thalia kirimkan kepadanya, tidak pula mengupdate Instagram atau akun media sosialnya yang lain, raka bahkan membalas ucapana “I love you” yang Thalia kirimkan hanya dengan balasan “Me too” sepuluh jam sejak pesan itu ia kirimkan, padahal sebelumnya balasan Raka tidak pernah sekedar atau selama itu. Thalia tau Raka memang selalu serius dengan pekerjaannya, justru itu salah satu yang membuat ia menyukai Raka, karena tanggung jawabnya. Tapi Thalia rindu, pesan terakhirnya pagi itu bahkan belum berbalas. Ia membaca pesan lama mereka dan tersenyum. This too shall pass. “Mungkin akunya yang lagi sensi” pikirnya.

Ia menutup chat dan menggeser jarinya melihat satu pesan baru dari teman baiknya, Ninda yang mengirimkan gambarnya dengan 5-6 orang bocah berwajah ceria, bertuliskan “Asli betah banget di Waengapu!!” wajah Ninda tampak sumringah mesti jelas kulitnya terbakar matahari. Ninda memang sedang melakukan pengabdian dengan salah satu NGO yang bergerak didunia pendidikan mendirikan dan menjalankan perpustakaan bagi anak-anak didaerah pesisir NTT, Thalia bisa melihat bahagianya gadis itu menjalankan hal yang ia senangi, pendidikan dan pemeraatan. Thalia mengambil gambar orang-orang yang berlalu lalang dan lapangan didepannya “The usual. Kapan balik?” ia ketikkan. Ia sedang tak ingin menjelaskan. Thalia menghabiskan sisa sepuluh menit waktunya menikmati semburat jingga langit senja dalam diam mengagumi bagaimana keindahan bisa begitu terasa menyedihkan diwaktu yang bersamaan.


18.45. Ia sedang akan membaca materi ujiannya yang tinggal hitungan minggu, ujian yang akan menentukan layak atau tidaknya ia menyandang gelar itu didepan namanya, akhir dari enam tahun masa kuliahnya ketika hapenya bergetar menunjukkan satu Line baru tertulis nama Raka Mahesa “Kamu sibuk ga? Aku pengen ketemu. CafĂ© daerah prawirotaman yang biasa ya, besok jam 5 sore. Jangan lupa makan malam Tha.” Ia menggenggam handphonenya mengetikkan dengan cepat balasan mengiyakan janji besok, mengingatkan hal yang sama pada Raka dan menambahkan “I love you” pada akhir pesannya yang berbalas “Me too” lima menit kemudian.

-To be continued-


I HAVE EXAM TO STUDY ABOUT. Why on earth did I write this instead???

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1...

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak ban...

Grieving - Part 1: The upside down world

Background: Staring at a peeled-beige wall, waiting in an empty office for my dad’s death certificate.  Facing another heartbreaking moment because two weeks ago, it never crossed my mind that I’d be writing my father’s name on a paper declaring his death. Gritting my teeth as hard as I could to keep me from crying. Was it a successful method? I won’t answer. Has anyone ever told you that when you cry too much, your head, eyes, nose, and even salivary glands can hurt all at the same time? Well, they can. I don’t think I’ve cried this hard since elementary school. I’m the kind of person who usually observes my thoughts and feelings, thinking, “Huh? Interesting” and sitting with them for hours until they settle. Yet this time, grief swallowed me like a tsunami. Those thought-watching processes didn’t stand a chance. My father’s passing came as a shock. I won’t share the details of his death, but the news arrived on an ordinary day as I prepared for my ICCU shift and for a while, my w...