Langsung ke konten utama

Merayakan Kartini

Hai! Selamat merayakan hari kartini bagi yang merayakan!

Bagi yang merayakan? Iya. Dari tahun ke tahun rasanya trend kita masih saja sama, merayakan kartini untuk debat panjang tak bersolusi. Kebanyakan mengenai posisi wanita Indonesia, bolehkah seorang wanita berkarir ataukah dia harus sepenuhnya mengurusi keluarganya? Padahal Kartini hanyalah simbol mengenai bagaimana perempuan seharusnya berpendidikan.

Lalu kenapa terhadap simbol saja kita masih berdebat?

Masih ada Sarinah dan Dewi Sartika, try to read about them it you are free.

Anyway, this very special post is dedicated to : Ibu Siti Fadilah Supari yang bukunya baru setengah terbaca tapi sudah membuka mata, bahwa akan terus ada yang kita perjuangkan. Perjuangan panjang entah di tingkat individu, nasional maupun internasional mengenai dunia kesehatan Indonesia.

“Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” – Pramoedya Ananta Toer  (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels).

Buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah” ini membahas kurang lebih hal yang berkaitan dengan ungkapan PAT diatas. Betapa Indonesia dan negara berkembang lainnya telah banyak dilemahkan dan dicurangi oleh sistem kapitalis bahkan dalam dunia kesehatan.

Kesehatan yang adalah hak dasar manusia pun jadi bahan dagangan! Dan betapa seorang wanita, seorang Ibu begitu berani untuk maju menyuarakan apa yang beliau percayai, menentang Exploitation de l’home par l’home sampai pada World Health Assembly (WHA) hanya demi keadilan, kepentingan rakyat Indonesia. Demi kemanusiaan.




Lalu terkait perdebatan tahunan Hari Kartini, apakah Ibu Siti melanggar kodratnya sebagai wanita? Ah, siapa pula kita untuk menilai? Sedang yang Maha Mengetahui dan Maha Menilai hanya Allah sahaja.

Buat saya sendiri, perdebatan tiap tahun mengenai kartini biarlah terus bergulir, dengan arahan yang tepat perdebatan dan adu argumentasi akan dapat mengasah daya pikir, menciptakan lingkup intelektual yang sehat.

And about working-mom? Well, for me that doesn’t matter, darling. As long as you do something useful for others, nothing could get too wrong.

Setelah sekian banyak buku yang dibaca ada satu yang begitu ingin dibagikan kepada yang lainnya, lalu kemudian teralih ditengah cerita karena perayaan hari Ibu Kartini kita. Tapi entah kau wanita ataupunpun pria, tetaplah berjuang, agar sekalipun kalah kita akan kalah dengan terhormat.

Selamat berminggu ujian! :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1...

Resensi Buku - H. Agus Salim

Resensi Buku Judul                     : Agus Salim - Diplomat Jenaka Penopang Republik Penulis                 : Tim Tempo Penerbit              : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Lebar                     : 16x23cm Jumlah hal.         : +178 halaman                 Buku ini adalah salah satu dari sekian seri buku Tempo Bapak bangsa yang diterbitkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini oleh pihak Tempo. Buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa kecintaan kaum muda kepada para bapak ban...

Grieving - Part 1: The upside down world

Background: Staring at a peeled-beige wall, waiting in an empty office for my dad’s death certificate.  Facing another heartbreaking moment because two weeks ago, it never crossed my mind that I’d be writing my father’s name on a paper declaring his death. Gritting my teeth as hard as I could to keep me from crying. Was it a successful method? I won’t answer. Has anyone ever told you that when you cry too much, your head, eyes, nose, and even salivary glands can hurt all at the same time? Well, they can. I don’t think I’ve cried this hard since elementary school. I’m the kind of person who usually observes my thoughts and feelings, thinking, “Huh? Interesting” and sitting with them for hours until they settle. Yet this time, grief swallowed me like a tsunami. Those thought-watching processes didn’t stand a chance. My father’s passing came as a shock. I won’t share the details of his death, but the news arrived on an ordinary day as I prepared for my ICCU shift and for a while, my w...