Langsung ke konten utama

Postingan

The six months update (kind of)

Hi there,  It’s your R1-going-on-R2 here. HAHAHA. Dang.  I was looking at my phone wallpaper today, of Janik Sinner smiling from ear to ear, lifting the Australian Open trophy. The joy in his face was so pure, the excitement like he never imagined he would win a Grand Slam. Before it hit me, it was only six months ago. Yet, January and the beginning of this journey seem very distant. It feels like I have been here for at least a year and a half, yet the novelty and adapting keep happening. So, when the newest batch was getting welcomed, I couldn't help but think to myself, 'Really? That fast?' You see, the residency system relies on the continuity of knowledge passed through independent study, bedside teaching with attendings, and from senior residents to us, the juniors. But in all honesty, though the last six months have been packed for me (and except for the wittiness, the athletics, and the know-how), I am not sure I have enough clinical knowledge to pass on to these 1
Postingan terbaru

Service Excellence – The Core of Healthcare

A few years ago, while participating in our graduation video, I uttered a phrase that elicited laughter from the crew—my friends. I said, "Kami siap melayani anda," which translates to "We are ready to serve you." Little did they know that, even then, before embarking on my medical career, I held that sentiment with utmost seriousness. I understood that medicine is fundamentally about being prepared to serve others, and service excellence lies at the heart of healthcare. Back then, I may not have been familiar with terms like "service excellence," "patient-centered service," or "patient experience," but the essence of these concepts has grown more evident to me over time. As healthcare providers, we should always stand ready to offer the best care we can provide. Hospitals and healthcare, by extension, are inherently complex services due to the unpredictable and emotionally charged nature of health itself. Healthcare deals with issues o

Keinginan untuk (tidak) mengubah orang lain

Salah satu stase yang berkesan saat stase klinis sebagai dokter muda a.k.a koas dulu adalah stase jiwa, untuk alasan yang berbeda-beda. Satu diantaranya adalah pelajaran sederhana tapi bermakna untuk melihat masalah lewat kacamata pemecahan yang berbeda; untuk tidak mengubah orang lain. Adalah dr. Mahar SpKJ, gurunda di departemen ilmu kejiwaan FK UGM yang mengajarkan konsep ini. Bukan, ilmu kejiwaan bukan ilmu tentang posisi planet dan siapa yang tepat menjadi belahan jiwamu tapi ilmu tentang bagaimana kita manusia, mengenal cara otak kita bekerja dalam mempersepsikan dunia, dan menerima persepsi ini untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Terdengar mudah, tapi selayaknya semua yang berhubungan cara kerja tubuh manusia, terlebih yang berhubungan dengan pikiran, seyogyanya bersifat kompleks. Guru saya ini dikenal memiliki kepribadian yang unik, dan saya mengagumi beliau atas prinsip dan pola pikirnya. Beliau selalu mengajarkan untuk melihat permasalahan kesehatan jiwa dalam konteks sosi

Pulang?

Tulisan ini dibuat sembari menunggu pesawat untuk pulang ke Jogja.       Teringat untuk melanjutkan tulisan ini ketika akan checkout barang yang dibeli secara daring dan perlu menentukan akan dikirim kemana barangnya. Ada tiga alamat “rumah” di tiga kota berbeda yang didaftarkan di sho**e. Oh, well .      I have been living like a nomad for the last few years . Hidup berpindahnya udah lama, tapi dalam empat tahun terakhir ini, sudah tinggal di ENAM kota. Alasan utama perpindahan ini ada beberapa tapi utamanya memang terkait pendidikan ataupun pekerjaan. Sebenarnya banyak hal menyenangkan (disertai opportunity cost -nya tentu saja) yang datang bersama hidup yang berpindah-pindah ini. Yang pertama tentu saja punya kesempatan melihat hidup dari berbagai sisi, melihat cerita dan budaya yang berbeda. I kind of see life as a story about a journey where we human just tried to figure things out (we might not be able to discover everything but that’s fine, to try is the entire point) . Tapi ya

Sepatu lari dan makna rezeki

Ada postingan salah satu dokter penanggung jawab pasien (DPJP) yang kemudian mengingatkan kalau sudah lama ingin menulis tentang ini; tentang rezeki dan sepatu lari yang dicari berhari-hari. Sejak terinspirasi Haruki Murakami dan mulai rutin lari di 2018, saya ga pernah ganti sepatu. Kebetulan waktu itu punya Sketcher yang sebenarnya bukan sepatu lari dan ga ada stabilizernya, tapi ya udah dipakai aja. Sayangnya tipe memory foam yang ada di sepatu ini menyebabkan bentuk alas sepatu menjadi mengikuti bentuk kaki berdasarkan titik beban terberat. Bentuk alas yang berubah ini karena terlalu soft malah ga bagus buat bentukan lari dan lutut. Tapi ini sepatu lari satu-satunya, sudah dicoba mencari dengan sepatu lain, belum berjodoh ternyata. Tiga tahun dan 500+ kilo kemudian, lutut dan telapak kaki mulai terasa sakit dipakai lari kurang dari 5km, padahal postur tubuh dan track ga ada yang berubah. Akhirnya terpaksa cuti lari hampir dua bulan yang untungnya bertepatan dengan kesibukan kuli

Melihat Alternatif

I am no-one’s philosopher, but I think life possess many great questions for us to ponder about.  Salah satu pertanyaan yang selalu muncul adalah: Apakah kenyataan hidup ini hanya demikian adanya? Atau ada alternatif hidup lain; cara berpikir dan berbuat lain? Alternatif secara luas diartikan sebagai satu atau lebih hal yang ada sebagai pilihan lain. Pertanyaan mencari alternatif ini muncul sebagai hasil kekecewaan terhadap diri karena tahun ini, sayangnya, seperti dua tahun berturut-turut tahun ini pun target membaca juga tidak tercapai. Tentu sangat mudah membuat alasan kenapa hal ini terjadi, tapi bukanlah itu bahasan kali ini. Pertanyaan yang timbul justru, ada apa dengan kekecewaan tidak tercapainya target ini? Kenapa membaca menjadi sesuatu yang bukan hanya dinikmati namun juga sesuatu yang rasanya penting? Membaca, mungkin terlihat sebagai kegiatan yang “membosankan” didunia dengan kehadiran social media yang setiap harinya membombardir kita dengan hal-hal yang menarik perhatian

(Almost) Nine years later…

I am definitely spending too much time on social media during this pandemic, but really, how else do I know that other human beings still exist?? And one night, I was scrolling through my Instagram feed and saw the post from three years ago where Imed11 were wishing everyone an Aidil Fitri. Imed, 2011. I don’t quite remember, but we were on Audit RK, and we already were awkwardly-laughing at each other. In no time, we picked our batch-leader and thus becoming a batch. Two things that are very on-brand of imed11 is Chiiiill laaa beroooo and Shinze’s answer sheet. The former is how we address everything. Instead of saying “Chill bro,” we twisted it Tamil’s-style and dragged every syllable on it to reach its maximum effect of being well, chill. The later is our smartest friend answering past exam questions, and we would use it as short of a guideline when we attempted to answer it on our own. She always got an A and is a very diligent, quiet, kind-hearted friend so, she is, to an ex